surat untuk guru

satu kata "miris"
marah dan kecewa pun mulai berjalan beriringan,  saya hanya menulis dan semoga dapat membuka mata atau jika sudah membuka mata semoga dapat bangun dari ketidakpedulian
percakapan malam ini tentang sebuah sekolah di ujung timur pulau jawa.
sekolahku dulu yang membentuk sebagian besar diriku kini dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Banyak cerita,  kisah,  juga pengalaman yang aku dapatkan di sana,  keberanian,  persahabatan,  semangat belajar,  cita-cita,  bahkan aku bertemu dengan guru-guru yang memiliki ketulusan mengajar mereka benar-benar peduli akan masa depan kami dan berusaha keras mengantar kami ke gerbang masa depan dengan bekal yang mereka letakkan di otak dan hati kami.
Sekolah ini hanyalah sekolah kecil di dekat pelabuhan,  letaknya di tengah sawah dan sungai,  bahkan sungai membelah sekolah menjadi dua dengan airnya yang sangat jernih dan sejuk.  Anak-anak selalu menyebut bahwa sekolah ini Mewah Sekali (mepet sawah mepet kali) .
9 tahun lalu
Dengan yakin saya menyebutkan bahwa tempat ini tak akan pernah menjadi cita-cita anak berprestasi untuk melanjutkan study,  bahkan tak kan juga menjadi cita-cita guru berprestasi tuk menetap sebagai pengajar, bahkan mungkin jika kau ke kota dan menyebutkan nama sekolah ini kau hanya akan mendapat pertanyaan tentang keberadaannya, benar ada atau tidak.
Jikapun ada anak berprestasi sekolah disini,  ini hanya karna faktor lain yakni karna orang tua yang tak mampu menyekolahkan anaknya di kota atau terlalu khawatir jika anaknya sekolah terlalu jauh, atau berfikir yang penting sekolah negeri.  Dan di sekolah ini sangat mudah bagimu mendapat nilai baik tanpa bersusah payah.
9 tahun lalu saat memasuki sekolah ini,  ada rasa tamat dan menyerah juga merasa sia-sia akan piagam yang dimiliki toh tak perlu menggunakannya pun tetap bisa masuk. Pertama masuk pun sudah merasa tak kan berkembang.
Namun waktu berkata lain,  memang benar di sekolah ini tak ada motivasi belajar giat,  memang benar murid disini mayoritas perusuh, emang benar mayoritas murid disini anak-anak yang tak punya keinginan belajar bahkan mereka merokok di kelas,  adalah pemandangan biasa jika melihat siswa memalak siswa lain,  merokok,  membiat gaduh kelas,  melontarkan kata-kata kotor,  baju amburadul,  rambut gak jelas,  nilai merah,  dan banyak lagi.  Ya memang itu benar bahkan Mereka melakukan kekerasan di sekolah atau bertindak hal yang telah masuk kategori kriminalitas.
Ya disitulah kaki ini berpijak,  namun dunia tak benar-benar gelap jika kau mau memulai membuatnya terang. Dan syukurlah kini yang membara di dada karna pernah hidup disana.
Disana aku belajar akan keberanian yang belum pernah muncul,  ada sebuah kisah dulu saat baru masuk sekolah ada pertandingan sepak bola di sekolah antar kelas. Dan kebetulan kelas 7a melawan kelas 8a, kami menang namun ada pengalaman baru memanti dimana sepak bola ternyata bisa berubah menjadi sepak kepala dalam waktu singkat,  ya temanku lebih tepatnya ketua kelasku telah menggantikan posisi bola bahkan kini aturan mainnya berubah bahwa menggunakan tangan bukan pelanggaran.  Sayangnya permainan ini tak ada gawang namun hanya berputas di satu lingkaran saja.  Semua orang hanya menonton dipinggir lapangan dan yang lebih hebatnya seorang guru pekerti juga ada di pinggir lapangan.
Jujur tak bisa diterima permainan seperti itu maka meski perempuan,  tak salah kan jika masuk lapangan toh permainan telah melenceng dari aturan.  Dikira dengan begitu akan selesai permainan tapi ternyata para pemain tak peduli meski bola mereka kini berada dibelakang seorang anak perempuan.  Untung saja petugas kedisiplinan segera datang,  dan sang anak perempuan pun membawa bola ke uks membasuh darah dan membalut luka.
Keberanian pun muncul bersamaan tekat tak akan membiarkan orang tak bersalah tersakiti. Persahabatan pun dimulai dengan tim yang solid tentunya dan juga keberanian tinggi.
Aku benci rokok karna asapnya mengganggu pernafasan,  jadi di tahun pertama catatan kecil selalu kan melayang ke ruang kedisiplinan mencantumkan nama-nama.  Hingga kekuasaan berada di tangan.  Peraturan mulai di buat dan mengikat mentor teman sebaya pun digalakkan dan sekolah menjadi tempat yang sangat menyenangkan bahkan tak lagi ada palak memalak.  Masih ingat dulu tanpa punya malu seorang anak laki-laki memalak anak perempuan,  mungkin dia sedang menguji pemberitaan tentang derajar kegalakkan anak perempuan itu.  Dan akhirnya berkesimpulan menyeramkan.
Tempat yang paling aku suka adalah perpustakaan bahkan dengan sukarela jika diijinkan membuka perpus lebih awal,  disini banyak cerita. Dan guru-guru ternyata benar-benar memposisikan diri mereka sebagai orang tua yang ingin anaknya berkembang aku sangat merasakan hal itu. Aku menemukan guru-guru yang inspiratif dengan kemampuan mereka yang menawan,  maka sekolah pun menjadi menyenangkan.
Sekolah menjadi lebih kondusif dibanding sebelumnya memang tetap ada perusuh tapi tak seperti dulu.
Tahun-tahun berlanjut dan tak kan ada lagi yang menanyakan keberadaan sekolah ini. Aku bangga memasuki dunia baru membawa namanya. Berseragam putih-putih dengan mantap kutunjukkan darimana asalku. Keberhasilan bukan hanya berasal dari tangan memegang bolpoin tapi juga dari lingkungannya dulu,  guru,  teman.
Kini 2016
Telah menapaki dunia baru tanpa seragam, tak pernah lupa akan sekolahku dulu.  Tapi kini inilah yang ingin kubagi betapa aku ingin segera pulang dan berkumpul membahas permasalahan pelik yang timbul.
Beberapa guru yang menginspirasi telah dipindah tugaskan bahkan kepala pun diganti dengan orang lain, murid-murid masih sama dengan yang dulu namun sayang suasananya telah jau berbeda. Entahlah aku ingin menjerit dan menangis mendengar berita cerita tentang sekolahku dulu.  Mungkin terlihat baik-baik saja namun ternyata mengandung kehancuran yang begitu besar bahkan entah disadari atau tidak dapat melahirkan dengan segera.
Para penegak kedisiplinan mulai menghilang,  ego telah bermunculan dan hidup dalam diri pendidik.
Seorang guru harus tahu tentang muridnya satu per satu dan yang paling penting adalah tertananam dalam hati bahwa sedang membangun negeri bukan menggugurka kewajiban mengajar tanpa esensi.  Ada seorang anak yang agak kemayu harusnya seorang guru harua membantu anak untuk menjadi lebih baik bukannya malah mempelosokkan anak kedalam kubangan hitam,  sadarkah jika apa yang dilakukan akan sangat mempengaruhi kehidupan anak itu?  Sadarkah jika terus memberi dorongan maka akan membuat anak itu semakin jauh dari dirinya yang sebenarnya?  Miris saat guru hanya demi kesenangan menjadikan seorang anak laki-laki berulang kali memakai pakaian perempuan tidak merasa itu adalah sebuah masalah.  Tidak sadarkah?  Atau mungkin pertanyaan kurang jelas,  apakah menginginkan anak laki-lakinya berubah menjadi perempuan??  Itukah yang diinginkan??
Apakah anak-anak yang seharusnya dibimbing akan dihancurkan dengan tangan,  mata,  otak yang seharusnya membimbing itu?
Marah?  Ya marah sangat marah
Apakah anda lupa tujuan pendidikan???
T

Comments

Populer Post

Sinopsis novel Akatsuki

Proses Osmosis pada Kentang

Bunga dan Kumbang