Sebuah nama (1)
Haruskah ku
ulangi lagi kata cintaku padamu
Yakinkan
hatimu
Masihkah
terlintas di dada keraguanmu itu
Susahkan
hatimu
Tak akan ada
cinta yang lain?
Pastikan
cintaku hanya untukmu
Pernahkah
terbersit olehmu aku pun takut kehilangan dirimu
Sempat
sering aku berfikir akankah ada orang yang serupa denganmu? Ahhh aku sudah
berjalan menempuh ratusan kilo dari rumah, menjauh dari semua orang yang
mengenalku, aku berjalan kemanapun bertemu
orang-orang baru tak peduli akan kaki yang berjejalan memenuhi
lorong-lorong jalan. Sungguh aku tak ingin hatiku jadi milik yang lainnya
Cinta itu
adalah kata kerja yang sangat rumit, rumit untuk mengerti juga memahaminya.
Berjuta kali aku menolak menyadari ketertarikanku, ya aku telah mekewati batas
ketertarikanku begitu jauh, ah aku tak melewatinya namun aku melompatinya
melompati rasa suka dan berpijak pada kata cinta. Cinta sunyi jauh dari
gemerlapnya percintaan manusia.
Melihatmu
dari sudut lain bukan bertatap langsung, mendesiskan namamu tanpa terucap bahkan
selalu menghalau saat hati ingin mengucap menyebut sebuah nama, mendengar
suaramu membuatku harus menahan nafas agar tak ada yang menyadari betapa
berbedanya aku bernafas saat berbincang denganmu.
Masih jelas
dalam ingatan dimana letak buku-buku di perpustakaan sore itu. Entahlah aku
juga lupa atau memang tak memperhatiakn bagaimana kisah ini bermula karena
memang tak pernah berusaha dimulai dan tak pernah memulai. Yang ku tahu atau
yang ku ingat adalah dirimu hanyalah kakak tingkat yang sombong. Pintar namun
sombong, bahkan kau tak pernah ikut ekskul dan sangat buruk dalam baris
berbaris. Tapi bukan itu yang menarik
karena aku sudah bertemu banyak orang pandai dalam hidupku sebelumnya. Dan di
sekolah pinggiran ini bolehlah kau terlihat menonjol tapi aku bukan orang yang
akan berkenalan dengan kakak tingkat hanya karena dia pandai terlebih mmengajak
berkenalan orang yang tak mau menyapa itu tentu tidak mungkin ku lakukakn. Tapi
aku tahu siapa dirimu dan itu pun hanya sekilas tahu. Ingatkah saat kau kelas
dua kita pernah mengikuti OSN bersama? Ya saat itu aku tahu hanya sekedar tahu
bahwa kau siswa yang cerdas. Lalu setelah sekian bulan kita bertemu di
perpustakaan yang membuatku takjub. Tentu saja aku mengenal perpustakaan dengan
baik bahkan aku menembus batasan untuk membaca buku apapun yang aku suka bahkan
aku ikut merapikan buku, menyetempel, menyampul, mendapat ijin membaca buku
baru yang bahkan belum di stempel. Sedangkan dirimu? Aishhh kau bahkan tak
memiliki kartu anggota perpus dan di siang itu entah terkena virus apa
tiba-tiba kau masuk perpu dan menuju rak buku keagamaan. Awalnya sih aku biasa
namun karena sikapmu yang tak menyapa orang lain bahkan menganggap mereka tak
ada membuatku sungguh risih dan mulai bertanya bagaimana mungkin ada orang sepertimu.
Tak mempedulikan orang di sekitar bahakan menganggap yang bernafas hanya
dirimu. Dan tanpa ku sadari ternyata kau berada di depan mejaku dan
bertanya,”Gimana caranya pinjam buku?”
Aisshhh kau
kakak tingkat yang sepertinya mengajak bercanda bagaimana mungkin kau baru bertanya, dan setelah ku cek
benar ia tak memiliki catatatn peminjaman buku. Tentu aku memberikan jawaban
formal dengan baik seperti kepada pelanggan perpus yang baru. “bawa dua foto,
untuk buat kartu perpus baru boleh pinjam.” Lalu kau pergi tanpa mengucap
terima kasih berlalu begitu saja.
Waktu itu
pun aku biasa saja karna begitulah dirimu dan tak ada rasa ingin tahu lebih
tentangmu
Keesokan
harinya kau menjadi anak rajin datang ke perpus dengan membawa 2 buah foto dan
menyerahkannya kepadaku meski saat itu aku sedang tak duduk di tempat petugas
perpustakaan. Dengan wajah biasa saja aku pun melangkah ke meja petugas dan
membuatkanmu kartu perpustakaan tentu saja aku sudah memiliki ijin untuk
melakukan ini.
Lalu kau
melangkah menuju rak buku-buku agama. Dan aku melanjutkan membaca novel. Lalu
kau datang membawa sebuah buku berjudul “40 Hari Bersama Allah”. Begitu saja
harii itu, dan entahlah aku merasa tak masalah berkenalan denganmu aku merasa
tak ada salahnya tersenyum padamu.
Comments
Post a Comment