KRIINGG!!

Ini cerpen sebenarnya tugas Bahasa Indonesia waktu aku kelas satu SMA, aku memang bukan seorang penulis cerpen atau apalah itu hanya sebuah goresan tentang cinta untuk seorang wanita yang biasa kupanggil ibu

-----


KRIINGG!!
Kehangatan menembus dinding rapuh yang dingin oleh kehampaan, waktu yang terus berputar dan mengecil bagai pusaran arus yang menghanyutkan mangsanya. Rintikan air hujan diluar jendela bagai musik yang mengalun lembut menenangkan jiwa-jiwa sepi  terbawa angin malam. Perlahan namun pasti kelopak bunga yang rapuh gugur terhantam rintikan air kala itu, menyerukan keharuman membangunkan hati yang tertutup awan hitam.
“Nduk.. bangun sayang…” tangan lembut membawaku kembali dari awang-awang dunia malam, suara yang begitu menenangkan hati yang terbalut rindu, jiwaku memang telah kembali dalam ragaku, namun kelopak mata ini enggan membuka mata.

KRIINGG!!!! KRIINGG!!

Jari-jari lentik itu kini mulai bergerak, mata coklatnya kini telah terbuka perlahan. Ia melihat sekelilingnya, tembok biru meski sedikit buram karna matanya membengkak.
“Ibu? Ibu? Wulan sudah bangun bu? Ibu?” Tak ada jawaban. Ia turun dari dipan dan mencari sosok bidadari mimpinya.
“Eh Wulan sudah bangun nduk?” Sapa Budhe Tatik
“Loh kamu mau kemana lan?”
“Mau cari ibu budhe, budhe tau ibu dimana? Tadi ibu nyuruh Wulan bangun, eh waktu Wulan bangun ibu ndak ada, budhe tau ibu kemana? Apa ibu buatin Wulan bubur ya budhe? Atau pergi sama tante Tria? Atau ibu sama bapak?”
Air mata gadis itu mulai mengalir turun, ia sadar pertanyaannya tak mungkin terjawab oleh siapapun karena dialah yang paling mengerti jawaban apa yang benar untuk pertanyaannya. Dalam pelukan Budhe Tatik Wulan menangis dalam diam, ia hanya dapat mendengar dengan samar kata ibu bahwa ia akan tegar, ia akan menjadi gadis baik dan penurut. Dihapusnya air mata yang membasahi pipi, lalu melepas pelukan Budhe Tatik dan berlari menuju kain hijau yang dibopong tetangganya. Diiringinya kain hijau itu sampai pada sebuah lorong dan kelopak bunga rapuh berjatuhan lagi.

KRING!!! KRIING!!!

            Pagi itu begitu cerah si Buyo ayam Pak Dhe Sidik sudah bernyanyi riang di atas pagar, ia seakan tak rela jika manusia masih menarik selimut dan merangkul bantal, oleh karenanya si Buyo semakin mengeraskan suaranya. Di sambarnya tas hijau kesayangannya lalu menuju ruangan makan untuk sarapan bersama. Inilah salah satu peraturan Budhe Tatik, sarapan dan makan malam harus dilaksanakan bersama-sama agar tetap rukun katanya. Setelah makan, Wulan akan berangkat bareng Mas Aryo karena ia adalah guru muda di sekolahnya.
 “Pagi pak.” Sapa Wulan pada pak Antok si tukang kebun sekolah. Baginilah setiap pagi, Wulan datang terlalu pagi karena ia berangkat bareng Mas Aryo, bertemu Pak Antok lalu berjalan menyusuri lorong-lorong yang lebih mirip dibilang rumah sakit dibandingkan lorong sekolah.
            Sampai di depan kelsnya, suasanya masih saja sepi meski mentari sudah bertengger tenang di singgahsananya. Dinding kelas yang berwarna peach sangat menyatu dengan bangku coklat yang masih nangkring diatas meja pertanda pbelum adda penghuni yang berniat menurunkannya. Untung saja tadi malam Wulan telah memasukkan Novel yang beru dipenjamnya dari perpustakaan sekolah. Dikeluarkannya novel berwarna coklat muda dengan gambar seorang gadis memakai jas hujan dibawah pohon yang gugur daunnya. Ini adalah novel pertama yang ia baca dulu judulnya “Daun—daun Gugur” karya Agnes Majestika.

KRIINGG!!! KRIINGG!!!

Wulan tiba-tibaa terjatuh, dan saat ia bangun ternya kelas yang tadi sepi sudah banyak penghuninya. Serentak para penghuni ruangan itu tertawa melihat tingkah Wulan, tak terkecuali Dewi dan Anggi.
“Mangkanya lan jangan dijadikan kebiasaan baca novel dengan mata merem.”
“Aku gak meren Dew, ih malah ketawa harusnya kan bangunin aku sejak tadi.”
“Ya Allah Lan kami sudah membangunkanmu sejak tadi, malah kami sudah menyingkirkan novelmu, tapi kamunya aja yang emang dasarnya udah kebo, hahahaha.”
“Oh gitu ya.. nah mana novelku?”
Pertanyaan Wulan menggantung karena tiba-tiba datang Arman anak kelas sebelah.
“Assalamu’alaikum. Eh kalian ditunggu Pak Bahrul di lab.”
“Okeh, makasih Man.”
“Yuk cepet bangun. Kita ke lab.” Seru Anggi

***

“Assalamu’alaikum semua?”
“Wa’alaikumsalam pak.”
“Anak-anak bapak akan memutarkan sebuah lagu untuk kalian, tolong disimak dengan baik setelah itu buatkan satu cerita yang menyangkut dengan isi lagu ini.”
“Ya pak.” koor terdengar dari lab bahasa.
            Perlahan intro lagu mengalun lembut suara sang penyair yang begitu khas menyambut hati yang telah lama kosong.

Ribuan kilo jarak yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu kumembalas ibu… ibu…

Tanpa terasa dua tahun sudah ku lalui tampa belaian lembut dan bubur hangat di pagi hari. Aku rindu bidadari yang selalu memberi segalanya untukku, bidadari yang selalu menghangatkan hatiku saat hati ini terasa beku. Ibu….. Ibu yang selalu memelukku, ibu yang selalu menggandeng tanganku, ibu yang selalu…. Namun sekarang ibu berada ditempat yang lebih indah bersama bapak. Ibu Wulan begitu merindukanmu, terkadang Wulan iri melihat Dewi dan Anggi setiap hari mereka bisa mencium tangan bidadari, mengucap salam, memasak bersama.” Tanpa terasa butiran Kristal membasahi pipi Wulan.

Ingin ku dekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur sperti masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa ku membalas ibu… ibu…

“Bu aku ingin memelukmu, aku ingin tidur dipangkuanmu, aku ingin bercerita padamu,aku ingin ibu melihat pialaku untukmu ibu. Aku ingin kau mendengarku mengucap betapa aku sangat menyayangimu. Bu apa ibu mendengar? Ibu….. Ibu…. Ibu… Wulan rindu padamu ibu, Wulan sayang ibu. Ya Rabb tempatkan ibuku di tempat terindah milikMu.
            Dalam diam semua terungkap lewat mutiara yang terus mengalir.
KRIINGG!!! KRIINGG!!!!


Comments

Populer Post

Sinopsis novel Akatsuki

Proses Osmosis pada Kentang

Bunga dan Kumbang