The Story Begin #3
Beberapa
tahun lalu aku hanyalah mahasiswa baru penuh mimpi yang meledak-ledak. Aku
merasa bisa melakukan segalanya karena aku memiliki seorang kakak yang luar
biasa. Dan aku bangga kepadanya. Menjadi mahasiswa baru berarti harus siap
berdaptasi mengahadapi kesibukan baru dan lingkungan baru.
Saat
itu aku berangkat ke Jogja diantar bapak dan kami langsung berpisah di stasiun.
Bahkan bapak tak ikut mencarikan kos untukku.
Akhirnya
aku kos bersama teman-temanku yang akan
ikut ujian masuk stan. Sayangnya kami malah salah tempat akrena kami kos di kos
non islam. hal itu cukup membuatku ketakutan apalagi saat teman-temanku tak ada
di kos. Karena ternyata kosku itu adalah kos bebas bahkan pernah suatu malam
kamarku diketuk oleh laki-laki, tapi setidaknya ada kaka Qamar yang elalu menemaniku
via telfon saat malam alhasil aku bisa bertahan.
Waktu
itu bulan Ramadhan, sedih raasanya berada di kota asing tanpa saudara tanpa
kenalan dkat bahkan suara adzan pun samar, tanpa mas Aqamar ingatkan pun aku
berencana segera pindah namun sayang aku tak punya jaringan.
Aku
berdo’a kepada Allah agar aku diberikan kos yang isinya muslimah. Dan beberapa
awaktu akhirnya aku mendaat kos muslimah. Sayangnya setelah beberapa waktu aku
paindah di kos tersebut ternyata sama saja (ada sih bedanya yakni isinya
muslimah) laki-laki bisa masuk bahkan samapi masuk kamar. Dan itu tak bisa
tertolerir olehku bahkan kakak kosnya galak banget dan pak kos tidak tegas akan
peraturan laki-laki. Setidaknya ada mas Qamar yang selalu mendengar dan
menenangkan. Bisa dibilang aku lebih dekat dengannya dibanding dengan orang
tuaku. He knows my problem more than my parents.
Aku
berdo’a tiap malam semoga aku diberi kos yang isinya muslimah dan ada peraturan
laki-laki dilarang masuk bahkan dirunga tamu sekalipun.
Dan
di bulan september 2013 aku pun pindah kos untuk ketiga kalinya. Meski
kepindahanku ini ada sesuatu yang ahrus dikorbankan. Kos ini memiliki aturan
salah satunya aku tak bisa pulang lebih dari jam 9 malam dan ini menajdi alasan
tak mungkinnya aku ikut ukm teater yang kalau pulang bisa dipastikan diatas jam
9.
Begitulah
ceritanya tapi mas Qamar mengatakan aku harus mengambil kos ini. Dan masuklah
aku ke kos yang ternyata merupakan kos binaan. Isinya adalah mbak-mbak
berjilbab lebar yang tak pernah mengenakan celana saat keluar, mereka hanya
menggunakan rok atau gamis jadi katakanlah selamat inggal pada celana pensil.
Begitulah pikirku.
Mas
Qamar selalu mengatakan gak apa-apa setidaknya ia lega aku dapat kos yang aman.
Dan ia lebih cerewet dibanding sebelumnya seperti bab makan dan pulang malam.
Aku
merasakan sedikit demi sedkit memang ada yang berubah daari hubungan kami entah
apa tapi itu membuatku menjadi lebih was was dan waspada akan segala bentuk
kemungkinan.
Karena
aku sebenarnya takut akan imajinasiku sendiri dan sepertinya pintu imajinasi
telah terbuka dalam diriku. Aku takut jika aku salah mengartikan ucapan dan
perilakunya. Aku takut jika aku menjawab “Ya” untuk pertanyaannya. Takut jika
ternyata pertanyaannya bukan hal serius. Intinya aku tak mau melampaui batasan
yang kubuat ataupun dinding yang kita bangun, memikirkannya pun aku tak mau.
Di
rumah ini aku merasa banyak sekali hal yang berbeda dari kehidupanku
sebelumnya. Seolah kakak-kakak disini begitu shalihat sedang aku hiks hiks
begitu memprihatinkan akan pemahaman tentang agama. Hal paling kentara aku
mulai belajar mengenai interaksi ikhwan dan akhwat yang sedikit mencenangkan.
Intinya ternyata laki-laki dan perempuann yang bukan makhram dan tak berada
dalam ikatan pernikahan tak boleh memiliki hubungan melampaui batas apalagi
hingga pacaran. Jalan berdua atau smsan
yang menyangkut pribadi saja tak boleh.
Aku
menjadi manusia lain menurutku, disini aku tak memiliki kedekatan dengan
laki-laki manapun bahkan bisa dibilang sejak awal aku memberi jarak batasan.
Dan
ini membuatku bingung sebenarnya antara hubunganku dengan kak Qamar. Bagaimana
kami? karena yang kutahu kini tak ada namanya persaudaraan antara laki-laki dan
perempuan yang bukian makhram. Apa yang aku lakukan adalah hal yang tak baik, termasuk
dalam berkhalwat dan itu berarti bermaksiat kepada Allah.
Seharusnya
jika aku menyayanginya bukankah aku harusnya menjaga agar ia tak melakukan
keburukan yang tak Allah sukai, betapa munafiknya aku bersikap memberi batasan
kepada laki-laki disini tapi ternyata aku berhubungan dengan laki-laki di kota
lain begitu dekat sangat dekat tanpa ikatan darah maupun pernikahan.
Ya
Allah jika memang ia adalah jodohku jagakanlah masing-masing kami, dan jika ia
bukan jodohku hilangkanlah desir-desir halus ini dan berikanlah aku
isyarat. Setiap hari ku berdo’a kepada
Allah tuk dijagakan hatiku.
Keresahan
timbul dalam diriku, hingga suatu waktu dibulan september di tahun yang sama,
seperti biasa kami memang hampir setiap malam terhubung lewat telfon. Aku mulai
bertanya kepadanya
Mas
benar gak sih yang kita lakukan?
Maksudnya
gimana dek?
Boleh
gak sih kita nih, tiap hari smsan, telfonan?
Siapa
yang ngelarang dek?
Bukankah
Allah gak suka yamas? Maksud adek mas sayang gak sih sama adek?
Sayang
banget dek
Bukankh
kalau mas sayang adek mas ingin adek terjaga dan tak terjerumus pada keburukan
to? Saling meenyayangi berarti saling menjaga kan?
Hening
Mas?
Aku tak tahu apa yang ada di depan nanti, aku tak tahu pa yang akan terjadi
nanti, tapi aku tahu aku menyayangimu dan seharusnya aku menjagamu.
Ya
juga si dek, terus gimana?
Menurut
mas gimana?
Hening
Hmmm
sepertinya kita harus mulai memutuskan mas, kita harus saling menjaga dengan
tidak perlu ada sms lagi, telfon lagi, maksudnya kalao gak penting. Kalau suatu
saat nanti kita bertemu muka ceritanya akan lain tergantung nanti apa yang
dilakukan. Gimana menurut mas?
Ya
dek, kita saling menjaga.
Comments
Post a Comment